PENGGUNAAN TANAH DI WILAYAH
PEDESAAN
Wilayah pedesaan, menurut Wibberley, menunjukkan
suatu bagian suatu negeri yang memperlihatkan penggunaan tanah yang luas
sebagai ciri penentu, baik pada waktu sekarang maupun beberapa wakru yang
lampau.
Tanah dipedesaan digunakan bagi kehidupan sosial,
seperti berkeluarga, bersekolah, beribadat, berekreasi, berolahraga dan
sebagainya. Selain itu di gunakan bagi kehidupan ekonomi seperti : bertani, berkebun,beternak,managkap
ikan , menebang kayu di hutan dan sebagainya.
2. Migrasi
Pedesaan Perkotaan Dan Pertumbuhan Jumlah Penduduk Perkotaan
Perpindahan penduduk dari pedesaan ke
perkotaan merupakan fenomena umum yang dialami Negara-negara sedang berkembang.
Penyebab utamanya adalah tekanan penduduk dan tekanan ekonomi di daerah
pedesaan, seperti cepatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk, terbatasnya jumlah
penduduk, terbatasnya tanah pertanian, dan sempitnya kesempatan bekerja di sektor
nonpertanian. Seseorang terdorong untuk meninggalkan pedesaan dan pindah ke
daerah perkotaan karena adanya kesempatan kerja yang lebih luas.
PERSENTASE
PENDUDUK DAERAH PERKOTAAN MENURUT PROPINSI : INDONESIA, 1971-1990
Propinsi
|
1971
|
1980
|
1985
|
1990
|
SUMATRA
|
17,10
|
19,58
|
21,83
|
25,52
|
JAWA
|
17,99
|
25,13
|
30,36
|
35,66
|
KALIMANTAN
|
20,35
|
21,46
|
23,93
|
27,58
|
SULAWESI
|
20,3
|
21,46
|
23,92
|
22,28
|
MALUKU
+ IRIAN JAYA
|
-
|
15,51
|
17,28
|
21,47
|
KEPULAUAN LAIN
|
7,40
|
12,01
|
20,67
|
17.14
|
INDONESIA
|
17,18
|
22,23
|
26,23
|
30,93
|
|
Dari tabel
diatas menunjukkan adanya peningkatan urbanisasi paling cepat terjadi dijawa,
dari 17,99% pada tahun 1997 menjadi 35,66% pada tahun 1990. Jawa memang lebih
mnegkota dari pada luar jawa. walaupun jawa dihuni oleh sekitar 60% penduduk
Indonesia, tetapi sekitar 70% penduduk perkotaan di Indonesia tinggal di jawa.
Maka dapat di duga migrasi pedesaan-perkotaan (yang masih dalam batas propinsi
) memberikan sumbangan yang besar dalam pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan
di setiap propinsi di Indonesia.
3. Kemiskinan
Pemerintah melancarkan beberapa program sektoral
untuk pengentasan kemiskinan baik dari segi financial, pelatihan, dan institusional. Program
terakhir adalah inpres Desa Tertinggal (IDT). Masalah kemiskinan dan kelaparan
dalam manifestasinya yang ekstrem, merupakan masalah pelik bagi manusia sejak
dahulu kala. Dimasa lalu tercatat wabah penyakit dan bahaya kelaparan yang
mengakibatkan banyak kematian di berbagai kawasan dunia. Oleh karena itu penanggulangan bahaya kelaparan
dan peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan salah satu program penting bagi
tiap-tiap Negara di dunia.
Merdeka : salah
satu tujuan yang penting dari kemerdekaan adalah kebebasan dari kemiskinan yang
sudah diderita sejak lama. Ini jelas tercantum dalam Bab XIV UUD 1945 Bab XIV,
yang menyangkut kesejahteraan social.
Pencapaian :
walaupun kesenjangan ekonomi dewasa ini cukup mencolok antara yang kaya dan miskin, dan masih banyak yang
perlu di lakukan untuk penanggulangan kemiskinan, proporsi yang miskin sudah
menurun secara berarti. Yaitu jumlah
penduduk miskin pada tahun 1976 sebanyak
40,08% (54,2 juta jiwa) menjadi 13,67%
pada tahun 1993 (27,2 juta jiwa).
Kriteria yang di gunakan untuk pengukuran tersebut
adalah kebutuhan makanan,keperluan bukan makanan yakni perumahan, sandang,
pendidikan,kesehatan dan transport. Dalam rangka menanggulangi masalah
kemiskinan tersebut dilaksanakan program IDT , dimana program IDT di arahkan
untuk mempercepat upaya pengurangan jumlah penduduk miskin dan jumlah desa-desa
miskin, dengan alokasi dana Rp20 juta untuk satu desa tertinggal. Ruang lingkup
adalah social-ekonomi penduduk miskin di desa-desa miskin. Jadi titik tolak
pemilihan adalah desa miskin bukan orang miskin dan memakai kriteria yang telah
digariskan.
Kelompok sasaran program IDT adalah penduduk miskin
yang tergabung dalam kelompok swadaya masyarakat (KSM), yang terdiri atas
sekitar 30 kepala keluarga,penduduk dari RT,RW, dusun atau desa yang sama.
Mereka adalah kelompok masayarakat yang berpenghasilan rendah,mempunyai
kemampuan terbatas dan tidak mempunyai akses dalam mendapatkan pelayanan,
prasarana dan permodalan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Gaji Dan Upah Yang Rendah, gaji pegawai dan upah
pekerja yang rendah dapat dijadikan indicator dari masalah kemiskinan yang
dihadapi. Dari satu segi dapat dikatakan bahwa kemajuan-kemajuan telah dicapai
namun sangat banyak orang yang menerima gaji dan upah dibawah Kebutuhan Fisik
Minimum (KSM). KFM adalah “kebutuhan minimum selama sebulan dari seorang
pekerja yang diukur menurut jumlah kalori, protein, vitamin-vitamin dan bahan
mineral lainnya yang diperlukan sesuai dengan tingkat kebutuhan seseorang
pekerja dan syarat-syarat kesehatan”. Barang dan jasa yang diperlukan dalam
jumlah minimum tersebut trediri dari lima kelompok : 1.makanan dan minuman,
2.bahan bakar/penerangan, 3.perumahan dan alat-alat dapur, 4.pakaian,
5.lain-lain (transport,rekreasi,obat-obatan dan pendidikan).
Jika diambil skala gaji pegawai negeri maka
terlihatlah betapa rendahnya gaji untuk golongan bawah pada umumnya.dalam
daftar skala gaji pokok pegawai negeri sipil untuk 1993 dapat dilihat bahwa
sampai akhir tahun 1994 gaji Gol.1 masa kerja 0-1 tahun adalah Rp.78000, masa
kerja 4-5 tahun Rp.898200, dan masa kerja 10-11 tahun Rp.106.000tunjangan untuk
isteri 10%dan untuk masing-masing anak
2%(sampai 3anak).
Jadi pegawai negeri Gol.1 masa kerja % tahun ,
dengan isteri dan 2 anak mndapat gaji dan tunjangan sebesar Rp.89,200+8.920+3.568=Rp.101.688(sampai
akhir tahun 1994) jumlah tersebut berada dibawah kebutuhan fisik minimumpekerja
dengan istri dan 2 anak.
Selain itu perlu juga diingat pekerja yang memasuki
pasar kerja terus menerus melimpah. Kondisi pasar kerja indonesia kelebihan
penawaran tenega kerja sedangkan lowongan kerja sangat terbatas. Selanjutnya
kalau tidak hati-hati dalam menaikan UMR,ada kekhawatiran bahwa pengusaha
mengganti faktor produksi tenaga kerja dengan pemakaian tekhnologi. Dengan kata
lain dalam mengejar untung, pengusaha beralih kepemakaian teknologi dan
mengurangi jumlah tenaga kerja. Upah buruh di Indonesia rendah jika
dibandingkan dengan berbagai Negara di Asia sehingga cukup banyak dj Negara
mereka di cekam oleh kemiskinan.
4. Pendekatan
Pembangunan Intervensi Kemiskinan
Berikut ini
ditelaah beberapa teori dan pendekatan pembangunan.
a. The
Trickle Down Theory
Teori perembesan atau tetesan kebawah
(the trickle down theory) bercermin pada sejarah ekonomi inggris dan
Negara-nagara eropa barat lainnya yang berorientasikan pada pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang mantap ditandai oleh Revolusi abad 18 dan 19
di Inggris jelas memberika keuntungan pada pemilik modal.meskipun demikian
investasi besar besaran itu telah mengakibatkan peningkatan standar hidup dari
kelas pekerja yang tumbuh dengan cepat sejajar dengan pertumbuhan penduduk yang
cepat pula. Sehingga terjadilah perembesan kesejahteraan dari kelas atas ke
kelas bawah melalui industrialisasi. Proses ini mempunyai akibat yang berbeda
di Negara-negara yang sedang berkembang, karena investasi besar-besaran
cenderung memperbesar kemakmuran golongan yang sudah ada di atas. Di tingkat
pedesaan pendekatan ‘trickle down theory’ nampaknya berpengaruh juga pada
pendekatan pembinaan koperasi (KUD).
b. Basic
Needs Approach
Basic Needs Approach “pendekatan
kebutuhan pokok “ untuk pertama kali dikembangkan di Argentina oleh Bariloche
Foundation sebagainupaya menanggulangi kemiskinanmasal dengan memenuhi
kebutuhan pokok dari 40% penduduk yang berpenghasilan paling rendah.pendekatan
tersebut meliputi upaya yang secara langsung menanggulangi masalah makanan.
Gizi, kesehatan, pakaian, pendidikan dan perumahan malaui penyediaan
kesempatankerja dan peningkatan pendapatan lain serta keluarga berencana.
Kelayakan pendekatan tersebut didasari oelh suatu paket kebijaksanaan yang
mengusahakan laju pertumbuhan yang relative tinggi (6-8%)pemerataan pendapatan,
dan dalam batas-batas tertentu juga pemerataan kekayaan, pengaturan kembali
pola-pola produksi dan pola-pola konsunsi masayarkat. Walaupun tujuan dan
sasaran pendekatan”basic needs”adalah untuk membebaskan kelompok miskin, tetapi
pendekatan ini msih tetap merupakan sasaran kritik terutama terhadap
kelemahan-kelemahan implikasi.
c. Pembangunan
dari dalam (development from
within)
Jelas bahwa kemiskinan tidak bisa dicapai melalui
generalisasi pendekatan-pendekatan “basic needs”. Pengalaman-pengalaman
menunjukkan bahwa pelayanan-pelayanan dasar hanya bisa dimanfaatkan kalau hal
itu terintegrasikan dalam apa yang disebut “ Self Organization” dan “Self
Management” dari kelompok miskin yang bersangkutan. Dikutip oleh Rusidi (1978)
dari Geertz (1959), adalah “normless” dan “structureless”. Mengefektifkan
pelayanan pada kelompok esa berarti mengefektifkan bekerjanya “basic
communities” yang berorientasi pada pengembangan untuk masa depan. Atau dengan
perkataan lain penanggulangan masalah golongan ekonomi lemah atau masyarakat
miskin hanya bisa dilakukan melalui golongan ekonomi lemah dan masyarakat
miskin itu sendiri atau melalui pembangunan dari dalam. Yaitu dengan mengembangkan potensi kepercayaan dan
kemampuan masyarakat itu sendiri untuk mengorganisir diri serta memba-ngun
sesuai dengan tujuan yang mereka kehendaki. Usaha pengembangan itu perlu
dilakukan di dalam wadah kelompok keci (Kelompok Swadaya) yang hidup sedemikian
rupa sehingga interaksi diantara individu merupakan proses pendidikan saling
“asah” dan “asih”.
Pada hakekatnya
pengembangan pedesaan adalah suatu upaya untuk memerangi kemiskinan dan
keterbelakangan. Pengembangan pedesaan harus ditinjau pada cakupan yang lebih
luas tidak hanya mengenai hal-hal teknik, sosial dan kultural yang berpengaruh
pada pengembangan pedesaan tetapi juga pada aspek politik dan
kebijakan-kebijakan umum lainnya.
Adanya penekanan pada
kemampuan menyeluruh dari penduduk pedesaan dalam mempengaruhi lingkungan
mereka, dan hal ini hanya dapat dicapai kalau pembangunan pedesaan merupakan
proses pengembangan kemandirian mereka. Upaya pengembangan pedesaan memang
diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup warga desa secara individual dan
keluarga. Dalam rangka ini pendekatan yang efektif adalah melalui kelompok
bukan secara individual. Hal ini utuk menghindarkan individu-individu yang
mempunyai potensi besar akan maju sendiri dan secara “selfish” meninggalkan
anggota masyarakat lain. Disamping itu pelayanan terhadap kelompok akan lebih
efisien dalam menggunakan sumber daya dan dana yang ada.
Masalah pokok
pedesaan adalah masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Adapun pendekatan yang
tepat adalah pendekatan pembangunan dari dalam masyarakat miskin dan
terbelakang tersebut. Sedangkan implikasi dari pedekatan pembangunan dari dalam
ini adalah perlunya membantuk kelompok swadaya yang dinamis berorient-tasikan
pada upaya peningkatan pendapatan , bekerja secara mandiri. Untuk mencapai
posisi tersebut perlu diadakan berbagai upaya pendidikan. Dalam rangka itu
pertama yang perlu diingat bahwa kelompok itu sendiri merupakan wadah dari
suatu proses saling belajar dan mengajar dari para anggota. Mereka saling
memberi dan menerima informasi dari pengalaman serta saling meneguhkan dan
memperkuat motivasi masing-masing. Dalam kelompok terjadi proses pendidikan
yang efektif dan efisiensi sekali, karena bertolak dari kemampuan masing-masing
dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar